Sejarah industri perbankan di Indonesia cukup panjang. Sejak pemerintahan Hindia Belanda hingga kini, peran perbankan cukup signifikan untuk memacu pertumbuhan sekaligus memporak porandakan ekonomi di Nusantara.
Perbankan Indonesia pernah menjadi sebuah industri yang begitu lesu karena ketatnya aturan pasca penertiban perbankan di masa 1971–1972. Namun Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) menjadi titik balik gairah perbankan yang kemudian tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Dengan kelonggaran aturan itu sebuah ungkapan sarkastis bahkan menyebut saat itu berkecimpung di industri bank lebih mudah daripada mendirikan toko kelontong. Hasilnya tumbuh banyak bank yang membuat Bank Indonesia harus mengeluarkan aturan pengawasan di awal 1990-an.
Belakangan ungkapan sarkastik itu menuai hasil, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit.
Permasalahan ini begitu ruwet karena usai muncul kebijakan mengetatkan aturan di tahun 1992 justru dalam hitungan bulan muncul aturan untuk melonggarkan ketentuan kehati-hatian.
Hasilnya kebijakan ini menjadi bumbu badai krisis finansial di Asia akibat kondisi perekonomian yang semakin terbuka dan semakin terintegrasi dengan keuangan dunia.
Pasca badai ekonomi, kalangan perbankan dan masyarakat umum semakin sadar persaingan dalam dunia perbankan semakin ketat. Tantangan di dunia perbankan akan semakin sulit dengan diterapkannya API (Arsitektur Perbankan Indonesia).
API merupakan kebijakan pemerintah terhadap dunia perbankan di Indonesia yang penerapannya pada tahun 2010. Kebijakan ini membahas tentang struktur perbankan yang sehat, pengawasan yang independen, dan perlindungan konsumen (nasabah).
Kebijakan mengenai API menuntut setiap bank berlomba menghimpun dana dari masyarakat. Upaya untuk meningkatkan jumlah nasabah dalam rangka meningkatkan modal perusahaan, bank-bank semakin banyak melakukan promosi, inovasi produk dan perbaikan kualitas pelayanan.
Indonesia Banking Directory 2008-2009 dimaksudkan untuk menjadi rujukan awal yang bisa memberikan gambaran pada 128 bank yang dirangkum selama periode 2006 hingga triwiwulan pertama 2008.
Untuk memudahkan pembaca memperoleh informasi dilakukan pembagian jenis bank berdasarkan kategori core bisnis a.l. Bank milik pemerintah, bank komersial valas, bank non valas dan Bank Pembangunan Daerah, Bank hasil kerjasama modal asing-lokal dan Bank Asing.
Sebuah risalah tentang kondisi perbankan dalam negeri tahun 2008- 2009 karya Kepala Ekonomi PT Bank Danamon, Tbk, Anton H. Gunawan bisa menjadi sebuah panduan untuk melangkah di tahun depan.
Artikel Anton menarik sekaligus optimistik tak perlu takut Indonesia terimbas badai finansial di Amerika Serikat dan Eropa karena secara statistik ke–12 bank besar di Tanah Air sangat sehat.
Hal terpenting dari buku ini ada pada Bab IV yang berisi statistik kinerja seluruh perbankan di Tanah Air sejak 2006 hingga triwulan pertama 2008. Mulai dari pertumbuhan aset, modal, jumlah dana yang disimpan masyarakat, pinjaman hingga pendapatan bersih bank.
Meski demikian terdapat kekurangan yang cukup mengganggu yaitu pada bab V yang dimaksudkan berisi gambaran lengkap kondisi masing-masing bank. Keterbatasan waktu membuat beberapa informasi terbaru terkait perubahan individu dalam hirarki organisasi maupun terkait modal menjadi kurang up-to-date.
|
Rp | |
Hemat Rp 52.500 | |
Rp 297.500 | |
i | |
Judul | Indonesia Banking Directory 2008-2009 |
No. ISBN | 9789796190331 |
Penulis | Pustaka Bisnis Indonesia |
Penerbit | Bisnis Indonesia |
Tanggal terbit | Oktober - 2008 |
Jumlah Halaman | - |
Berat Buku | 700 gr |
Jenis Cover | Hard Cover |
Dimensi(L x P) | - |
Kategori | Ekonomi |
Bonus | - |
Text Bahasa | English ·· |
Lokasi Stok | gudang bukukita |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar