Adakah yang lebih perih dari kematian istri
tercinta? Adakah yang lebih sengsara bila ditinggal ibu saat masih
balita? Adakah yang lebih menyakitkan lagi sebagai kepala keluarga,
tiba-tiba digugat cerai oleh istri yang memberi 3 orang anak? Adakah
derita lebih perih dari perceraian orangtua saat usia masih dini?
Semua terjawab dalam kisah roman ini. Duka, derita, nestapa, meruyak bagai tubuh kehilangan jiwa. Namun, ada juga harapan, kesungguhan, kerja keras, serta jatuh-bangun sebuah upaya, di dalam kisah para tokoh cerita. Dikemas dalam bahasa yang liris, dramatis, mempertimbangkan diksi, serta logika cerita, menjadikan kisah melodrama ini layak untuk dibaca.
Latar cerita mengambil setting masyarakat Batak Mandailing di Paraman Ampalu di Pasaman, Sumatera Barat, tahun 1970-an. Cerita juga mengalir di Jakarta, tahun 1974-1979, saat pengaruh Orde Lama masih terasa paska kejatuhan Bung Karno. Latar belakang Peristiwa Malari 1974, terungkap dari kacamata Rinto Napintar selaku perekat kisah. Bagaimana masyarakat Betawi tersingkir dari lahannya di Jakarta, dikemas apik—berkat riset, pengamatan empiris, dan pustaka. Kedalaman masalah, kata, kepedihan jiwa, kesengsaraan hati, mengalir seperti air. Penulis cerita ini wartawan sejak 1984, dan ia berada di balik sukses beberapa program acara televisi nasional.
***
Saya sudah baca novel bung Mulia. Sampai tamat. Filmis….
- Leon Agusta, Budayawan Indonesia
Karya ini mampu menggambarkan rasa dan suasana mendalam, dan menggunakan pilihan metafora yang tepat. Selamat kepada Mulia Nasution, karya ini menambah kekayaan Sastra Indonesia yang saya kagumi. Dan para pembaca, persiapkan diri Anda memulai perjalanan untuk menikmati kekayaan budaya tanah air….
-Olga Lidya, Pemain Film & Presenter Televisi
Aroma muatan lokal mempertegas positioning buku ini sebagai karya sastra. Cara-cara penulis menggambarkan detil situasi, perilaku orang-orang di dalam cerita, menunjukkan penulis akrab dengan situasi budaya cerita. Buku ini lebih pas sebagai karya sastra berbasis etnik, seperti novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari—bercerita tentang ronggeng dalam kehidupan Dukuh Paruk—serta perjuangan seorang perempuan meniti pilihan hidup. Yang membedakan, kalimat-kalimat dalam buku ini melankolik. Pembaca diajak memahami tradisi, dan sejarah masyarakat Mandailing di wilayah Sumatera Barat—dan masih bersinggungan dengan budaya masyarakat Tapanuli Selatan di Sumatera Utara.
-Bahrul Alam, Presenter Seputar Indonesia & Aneka Dialog RCTI (1990 – 1999)
Semua terjawab dalam kisah roman ini. Duka, derita, nestapa, meruyak bagai tubuh kehilangan jiwa. Namun, ada juga harapan, kesungguhan, kerja keras, serta jatuh-bangun sebuah upaya, di dalam kisah para tokoh cerita. Dikemas dalam bahasa yang liris, dramatis, mempertimbangkan diksi, serta logika cerita, menjadikan kisah melodrama ini layak untuk dibaca.
Latar cerita mengambil setting masyarakat Batak Mandailing di Paraman Ampalu di Pasaman, Sumatera Barat, tahun 1970-an. Cerita juga mengalir di Jakarta, tahun 1974-1979, saat pengaruh Orde Lama masih terasa paska kejatuhan Bung Karno. Latar belakang Peristiwa Malari 1974, terungkap dari kacamata Rinto Napintar selaku perekat kisah. Bagaimana masyarakat Betawi tersingkir dari lahannya di Jakarta, dikemas apik—berkat riset, pengamatan empiris, dan pustaka. Kedalaman masalah, kata, kepedihan jiwa, kesengsaraan hati, mengalir seperti air. Penulis cerita ini wartawan sejak 1984, dan ia berada di balik sukses beberapa program acara televisi nasional.
***
Saya sudah baca novel bung Mulia. Sampai tamat. Filmis….
- Leon Agusta, Budayawan Indonesia
Karya ini mampu menggambarkan rasa dan suasana mendalam, dan menggunakan pilihan metafora yang tepat. Selamat kepada Mulia Nasution, karya ini menambah kekayaan Sastra Indonesia yang saya kagumi. Dan para pembaca, persiapkan diri Anda memulai perjalanan untuk menikmati kekayaan budaya tanah air….
-Olga Lidya, Pemain Film & Presenter Televisi
Aroma muatan lokal mempertegas positioning buku ini sebagai karya sastra. Cara-cara penulis menggambarkan detil situasi, perilaku orang-orang di dalam cerita, menunjukkan penulis akrab dengan situasi budaya cerita. Buku ini lebih pas sebagai karya sastra berbasis etnik, seperti novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari—bercerita tentang ronggeng dalam kehidupan Dukuh Paruk—serta perjuangan seorang perempuan meniti pilihan hidup. Yang membedakan, kalimat-kalimat dalam buku ini melankolik. Pembaca diajak memahami tradisi, dan sejarah masyarakat Mandailing di wilayah Sumatera Barat—dan masih bersinggungan dengan budaya masyarakat Tapanuli Selatan di Sumatera Utara.
-Bahrul Alam, Presenter Seputar Indonesia & Aneka Dialog RCTI (1990 – 1999)
|
Rp |
|
Hemat Rp 7.500 | |
Rp 42.500 | |
Judul | Rahasia Tondi Ayahku |
No. ISBN | 9786021868706 |
Penulis | R. Mulia Nasution |
Penerbit | Satria |
Tanggal terbit | November - 2012 |
Jumlah Halaman | - |
Berat Buku | 300 gr |
Jenis Cover | Soft Cover |
Dimensi(L x P) | - |
Kategori | Fiksi |
Bonus | - |
Text Bahasa | Indonesia ·· |
Lokasi Stok | gudang bukukita |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar